Wednesday, 7 September 2011
Merantau Mencari Bako ! Minang
Istana Lama Seri Menanti, Negeri Sembilan, berarsitekturkan Minang
Abdul Aziz Ishak, pada tahun 1983 pernah menulis buku berjudul : “Mencari Bako”. Konon buku ini ia tulis karena kebanggaannya sebagai orang keturunan Minang yang banyak mencipta peradaban di kedua belah negeri, Indonesia dan Malaysia. Walau menurut adat Minangkabau yang matrilineal itu, Aziz tak “benar-benar sebagai orang Minang”, namun kegalauannya mencari keluarga ayah (bako dalam istilah Minangkabau), mendorongnya untuk menulis buku setebal 155 halaman. Dalam buku itu diterangkan, bahwa Aziz merupakan generasi kelima keturunan Datuk Jannaton, anggota keluarga Kerajaan Pagaruyung yang meneroka Pulau Pinang di awal abad ke-18. Walau jauh sudah pertautan Aziz dengan ranah Minang, namun rasa keminangannya itu masih perlu ia nukilkan. Dari catatan ini, terungkap pula nama Jamaluddin atau Che Din Kelang, seorang kaya Minangkabau asal Kelang Selangor, yang menikahi emak tua-nya Aishah. Kini keturunan Datuk Jannaton telah menyebar ke serata dunia, dan banyak dari mereka yang “menjadi orang”. Selain Aziz Ishak yang pernah menjabat menteri pertanian Malaysia, saudara tertuanya Yusof Ishak sukses menjadi Presiden Republik Singapura yang pertama.
Tokoh-tokoh Minang dalam pecahan mata wang Dollar, Ringgit, dan Rupiah
Kisah lainnya datang dari Rais Yatim, yang saat ini menjabat sebagai menteri komunikasi, informasi, dan kebudayaan Malaysia. Rais lahir dari pasangan Mohammad Yatim dan Siandam asal Palupuh, Luhak Agam. Orang tuanya yang berprofesi sebagai pedagang, telah merantau ke Malaysia sejak tahun 1920-an. Dalam sebuah autobiografinya, Rais menulis seluk beluk memasak rendang, masakan Minangkabau yang telah mendunia. Rais mencatat, ada tiga kunci memasak rendang agar terasa nikmat : pertama cukup kelapa dan ramuan, kedua mesti dikacau berterusan, dan ketiga apinya jangan besar. Komentar Rais mengenai rendang, melengkapi pengamatannya tentang adat perpatih yang berhulu di Minangkabau. Ternyata kecintaan Rais akan budaya Minang, bukan sebatas masakannya saja. Gaya rumah yang dibangunnya-pun, mengikuti arsitektur Minang beratapkan gonjong. Seperti banyak perantau Minang lainnya yang sukses berkarya di seantero jagad, Rais juga memiliki sifat demokratis dan egaliter. Selain itu karakter Minang yang melekat pada dirinya adalah, ia orang yang berprinsip, mudah bergaul, tahu dengan ereng dan gendeng, serta alur dan patut.
Keluarga kerajaan Negeri Sembilan, yang berketurunan raja-raja Pagaruyung, banyak pula yang tampil ke muka. Pada tahun 1957, pasca lepasnya negeri-negeri semenanjung dan Borneo utara dari penjajahan Inggris, Tuanku Abdul Rahman terpilih sebagai Yang Dipertuan Agung Malaysia pertama. Tidak seperti halnya Rais Yatim dan juga Ishak bersaudara yang mencuat di panggung politik berkat profesionalitas ataupun keilmuannya, pengangkatan Abdul Rahman sebagai ketua Kerajaan Malaysia, lebih dikarenakan kewibawaannya di tengah raja-raja yang lain. Tahta ini merupakan jabatan bergilir, yang diberikan kepada semua raja yang masuk ke dalam persekutuan Malaysia. Setelah Abdul Rahman, Jafar-lah orang Negeri Sembilan berikutnya yang menjabat posisi tesebut. Seperti halnya gambar Mohammad Hatta dalam salah satu pecahan rupiah, dan Yusof Ishak dalam pecahan dollar Singapura, diabadikannya Abdul Rahman pada salah satu pecahan mata wang ringgit, menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang-orang Minang. Satu lagi yang mencuat dari keluarga kerajaan Negeri Sembilan adalah Tuanku Tan Sri Abdullah, yang merupakan putra Tuanku Abdul Rahman. Keberhasilannya membangun serikat niaga Melewar Corporation, telah mengantarkannya sebagai salah satu billioner Malaysia terkemuka.
Rais Yatim menyambut Minangkabau Food Festival di Kuala Lumpur
Muszaphar Shukor, contoh suskes ilmuwan Minang di Malaysia. Angkasawan pertama negeri jiran ini, dalam suatu kunjungannya ke Indonesia mengaku berasal dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Walau Payakumbuh merupakan kampung neneknya, namun Muszaphar masih menganggap ranah Minang sebagai asal usulnya. Profesi Muszaphar, sebenarnya adalah seorang dokter ortopedik. Namun perjalanan karirnya, telah mengantarkan ia lepas landas ke luar angkasa. Perjalanannya ke dunia luar itu, masih berkait erat dengan dunia kedokteran yang selama ini ia geluti. Dia bereksperimen mengenai karakteristik dan perkembangan sel-sel kanker hati dan leukimia, serta kristalisasi berbagai protein dan mikrob pada graviti rendah. Kepergiannya ke angkasa lepas pada Oktober 2007 lalu, tidak hanya membanggakan masyarakat Minangkabau dan Malaysia, namun juga mengangkat harkat dan martabat bangsa Melayu secara keseluruhan.
Perantau lainnya adalah Tahir Jalaluddin. Salah satu dari banyak ulama Minangkabau yang sukses berkarya di Malaysia. Ulama tamatan Al Azhar Kairo ini, merupakan sosok pekerja keras kelahiran Ampek Angkek, Agam. Usahanya dalam menyebarkan paham modernisme kepada masyarakat Islam semenanjung, telah banyak melahirkan ulama-ulama Melayu puritan yang revolusioner. Majalah Al-Iman, merupakan bentuk nyata kontribusi Syeikh Tahir dalam membangun keislaman di Malaysia. Walau cikal bakal kemunculan majalah tersebut ada di Singapura, namun tingginya mobilitas para pembaca Al-Iman, juga turut mempengaruhi proses pembaharuan di Malaysia. Kerasnya Tahir Jalaluddin dalam mendidik, melahirkan seorang lagi politisi Minang yang sukses di Malaysia. Dia adalah Tun Hamdan Syeikh Tahir, yang merupakan putra kandung Syeikh Tahir sendiri. Dalam perjalanannya Hamdan muncul sebagai pendidik Malaysia yang kesohor, dan menjadi pejabat gubernur Pulau Pinang (1989-2001). Kontribusi Hamdan membangun peradaban Malaysia, telah menempatkannya sebagai salah seorang yang sedikit mendapatkan gelar Tun.
Satu lagi nama yang mencuat di Malaysia adalah Ibrahim Anon. Hobi menggambar dan profesinya yang pelukis, telah mengantarkan Ibrahim sebagai kartunis Malaysia kelas wahid. Melalui majalah humor Gila-gila, Ibrahim menciptakan tokoh Ujang. Watak Ujang yang coba disampaikannya dalam visual humor itu, merupakan karakter yang mencerminkan kehidupan sehari-hari masyarakat Malaysia. Ketokohan Ujang, membuat namanya lekat di hati. Walau nama Ibrahim tinggi menjulang, namun ia tak pernah lupa dengan asal usulnya di Minangkabau. Drama televisi “Aku Budak Minang, Atuk dan Aca”, merupakan wujud ketaklupaan Ibrahim kepada ranah tumpah darahnya.
Keluarga Saidi, Adnan beserta adik-adiknya Ahmad dan Amarullah, merupakan keluarga pejuang Malaysia yang selalu dikenang. Dibanding kedua saudaranya, Adnan merupakan prajurit Melayu yang cemerlang. Pada tahun 1933 ketika berusia 18 tahun, ia bergabung dalam Resimen Melayu. Setahun kemudian, dia terpilih sebagai anggota terbaik. Dalam pertempuran di Bukit Candu, karir militer Adnan berakhir tragis. Serangan besar-besaran tentara Jepun, telah menewaskannya dan banyak tentara Melayu lainnya. Keberanian Adnan Saidi bersama batalion pertama dan kedua Resimen Melayu dalam mempertahankan Pasir Panjang, menjadi salah satu episode yang kekal dalam lipatan sejarah Malaysia.
Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi sosok yang menorehkan tinta emasnya di gelanggang kehidupan jiran Malaysia. Zulhasril Nasir dalam bukunya “Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau” mencatat, setidaknya ada puluhan perantau Minang yang menjadi tokoh pergerakan di Malaysia. Mereka antara lain Ahmad Boestamam, Rashid Maidin, Sutan Jenain, dan Shamsiah Fakeh. Selain itu masih ada nama-nama yang duduk di kursi kementerian seperti Abdul Samad Idris dan Amirsham Abdul Aziz, serta Tan Sri Norma Abbas wanita pertama yang menjabat hakim besar Malaysia. Aznil Nawawi, Azmyl Yunor, dan Sheila Madjid yang kesemuanya berprofesi sebagai artis, menambah panjang deretan nama perantau Minang yang sukses di Malaysia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment