SUKU KARO .... MEDAN
Leluhur Karo (SIBAYAK RAJA BEREMPAT) KOLEKSI SAPO HOLLAN NL.
Adakah suku di dunia ini yang seluruh masyarakatnya adalah “TUHAN”. Mungkin ada, tetapi SUKU KARO memiliki budaya yang menjadikan setiap orang dalam suku ini adalah “Tuhan”. Ini merupakan sebuah keUNIKkan yang sangat langka. Ini terkait dengan FILOSOFI KESETARAAN DALAM MASYARAKAT KARO.
Suku Karo memiliki budaya yang dikenal dengan RAKUT SITELU secara bebas ditafsirkan sebagai TERIKAT DALAM TIGA KESATUAN. Ketiga posisi itu adalah ANAK BERU. KALIM BUBU DAN SUKUT. Setiap orang Karo memilki posisi dari ketiga kelompok ini. Pada saat tertentu dapat saja menjadi SUKUT, disaat lain dapat menjadi KALIM BUBU dan dikesempatan lain MENJADI ANAK BERU, maka setiap orang Karo, menjadi bagian yang terintegrasi dalam ketiga posisi itu.
Misalnya dalam sebuah acara pernikahan adat dengan ADAT KARO, maka ketiga posisi itu adalah:
1. Anakberu’ = pihak/kelompok penerima dara (mempelai wanita), mereka adalah petugas/pekerja/pesuruh dalam upacara/pesta adat Karo. Sama sekali tidak ada kejanggalan atau bahkan malah bangga jadi ‘pesuruh wajib’ dalam upacara adat Karo, tidak memandang pangkat atau jabatan yang bersangkutan diluar adat. Kalau ada yang tidak beres, mereka inilah yang akan disalahkan. Anak beru dalam peradatan Karo itu bisa saja seorang menteri, bupati, jendral, profesor, Kiayi Kondang, Pendeta dan apa saja, namun dalam posisi anak beru mereka adalah “pesuruh wajib” secara adat.
2. ‘Kalimbubu’ = pihak/kelompok pemberi dara (mempelai wanita), pihak keluarga istri, pihak yang dihormati dan selalu dapat tempat terhormat dalam upacara/kerja adat Karo. Juga disebut ‘DIBATA NI IDAH’ (”TUHAN’ yang terlihat). Namun bukan hanya pemilik langsung atau ayah dan ibu langsung dari mempelai wanita yang menjadi Kalim bubu, semua yang berada dalam kelompok yang sama posisinya secara adat dengan orang tua mempelai wanita adalah Kalim bubu.
‘
3. Sukut’ = pihak dari mempelai lelaki/tuan rumah dan keluarga terdekat (saudara, semarga), yang merupakan penanggung jawab kerja/upacara adat Karo. Referensi 1.2.3 DICOPAS dan dapat dibaca lebih lanjut di link ini.
Mencermati susunan adat budaya Karo RAKUT SITELU INI MAKA SETIAP ORANG KARO DALAM POSISI NO 2 YAITU KALIM BUBU, merupakan “DIBATA=TUHAN” yang NIIDAH/KELIHATAN dalam arti bahwa posisi adalah posisi yang sangat dihormati. Inti dari menghormati kalim bubu adalah untuk menjadi contoh bagi bagian yang lainnya sehingga pada posisinya kelak, misalnya SUKUT menjadi KL Bubu, juga menjadi contoh untuk saling menghormati.
Hal ini tidak telepas dari sejarah KARO, bahwa setiap orang KARO memilki KEKUATAN BATIN MASING-MASING, SETIAP ORANG UMUMNYA MEMILIKI BEGU JABU (HANTU RUMAH/ ROH/SPIRIT milik Keluaga). Orang Karo memilki kekuatan SUPRA NATURAL, ada yang dapat menghilang, tahan bacok, dapat menungga harimau, dan sebagainya. Orang-orang seperti ini saling menjaga dan juga saling menghormati satu sama lain untuk menjaga kekerabatan sesama kekuatan batin masing-masing.
Disisi lain, inilah salah satu yang membuat mengapa Belanda sangat sulit menguasai Karo, bahkan penyebaran agama Kristen oleh belanda di akhir abad 19, gagal total, karena orang Karo sudah memiliki kekuatan spiritual yang RIIL, dibandingkan ajaran Kekeristenan yang cendrung bersifat general. Kekeristenan masuk Dataran Tinggi Karo di awal abad 20, setelah melakukan berbagai upaya. Demikian juga sang Pendiri Kota MEDAN, yaitu GURU MBELIN PATIMPUS, merupakan DUKUN BESAR dengan KEKUATAN BATIN yang membuat dirinya mampu dan dihormati sebagai orang yang memilki kekuatan supranatural.
Namun dimasa kini dimasa sudah beragama, Kalim Bubu merupakan dibata niidah, yang dihormati dalam ikatan adat untuk menjaga nilai kebudayaan, dan tentunya dalam posisi ini Kalim Bubu, mendoakan setiap kegiatan kepada TUHAN YME agar semua berjalan dengan baik dan lancar. Jadi di dalam masyarakat Karo setiap orang memiliki posisi “TUHAN YANG KELIHATAN”, dan fungsinya adalah untuk memberikan berkatNYA melalui keyakinan untuk mendapatkan kebaikan ………………….Unik bukan?
No comments:
Post a Comment